Pengadilan Niaga sebagai Lembaga Penyelesaian Perkara Kepailitan
Pembentukan peradilan niaga
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat didirikan pada tahun 1998. Pada awalnya,
kompetensi absolut Pengadilan Niaga terbatas hanya mengadili
perkara-perkara berdasarkan Undang-Undang Kepailitan yang baru. Namun
pada tahun 2001, kompetensi tersebut diperluas sehingga mencakup
kewenangan untuk mengadili perkara Hak a A tas Kekayaan Intelektual (H A
a KI).
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat merupakan satu diantara lima
Pengadilan Niaga lainnya di Indonesia. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
adalah Pengadilan Niaga pertama yang dibentuk berdasarkan Pasal 306
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 jo
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang
Kepailitan. Keempat lainnya yaitu di Semarang, Surabaya, Medan dan
Makassar didirikan berdasarkan keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999.
Persidangan perkara di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat meliputi perkara
Kepailitan, PKPU dan gugatan dalam perkara perlindungan hak atas
kekayaan intelektual yaitu: hak cipta, merek, desain industri, desain
tata letak sirkuit terpadu dan paten.
Pengadilan niaga dalam kepailitan
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 menambah satu bab baru yaitu Bab
Ketiga mengenai Pengadilan Niaga. Pembentukan peradilan khusus ini
diharapkan dapat menyelesaikan masalah kepailitan secara cepat dan
efektif. Pengadilan Niaga merupakan diferensiasi atas peradilan umum
yang dimungkinkan pembentukanya berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kekuasaan kehakiman.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang merupakan pembaharuan dari
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, tidak mengatur Pengadilan Niaga pada
bab tersendiri, akan tetapi masuk pada Bab V tentang Ketentuan Lain-lain
mulai dari Pasal 299 sampai dengan Pasal 303. Demikian juga dalam
penyebutannya pada setiap pasal cukup dengan menyebutkan kata
“Pengadilan” tanpa ada kata “Niaga” karena merujuk pada Bab I tentang
Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 7 bahwa Pengadilan adalah Pengadilan Niaga
dalam Lingkungan peradilan umum.
a. Tugas dan Wewenang Pengadilan Niaga
Mengenai tugas dan wewenang Pengadilan Niaga ini pada Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998 diatur dalam Pasal 280, sedangkan dalam Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 diatur pada Pasal 300. Pengadilan Niaga merupakan
lembaga peradilan yang berada di bawah lingkungan Peradilan Umum yang
mempunyai tugas sebagai berikut (Rahayu Hartini, 2008 : 258 ) :
1) Memeriksa dan memutusakan permohonan pernyataan pailit;
2) Memeriksa dan memutus permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
3) Memeriksa perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya
ditetapkan dengan undang-undang, misalnya sengketa di bidang HaKI.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 juga mengatur tentang kewenangan
Pengadilan Niaga dalam hubungannya dengan perjanjian yang mengadung
klausula arbitrase. Dalam Pasal 303 ditentukan bahwa Pengadilan tetap
berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari
pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang
utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tentang
syarat-syarat kepailitan. Ketentuan pasal tersebut dimaksudkan untuk
memberi penegasan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan
menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun
perjanjian utang piutang yang mereka buat memuat klausula arbitrase.
b. Kompetensi Pengadilan Niaga
1) Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif merupakan kewenangan atau kekuasaan mengadili antar
Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga sampai saat ini baru ada lima.
Pengadilan Niaga tersebut berkedudukan sama di Pengadilan Negeri.
Pengadilan Niaga hanya berwenang memeriksa dan memutus perkara pada
daerah hukumnya masing-masing. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
menyatakan bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit diputus oleh
Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan
hukum Debitor, apabila debitor telah meninggalkan wilayah Negara
Republik Indonesia, maka Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan
atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor. Dalam hal debitor
adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan.
Debitur yang tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia
tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik
Indonesia, Pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan
profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia. Dalam hal
Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah
sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya. (Rudy A Lontoh & et.
al, 2001 : 159)
2) Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut merupakan kewenangan memeriksa dan mengadili antar
badan peradilan. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman mengatur tentang badan peradilan beserta kewenangan
yang dimiliki. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada
di bawah Pengadilan umum yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan
memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang. Selain itu, menurut Pasal 300 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004, Pengadilan Niaga juga berwenang pula memeriksa dan memutus
perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan
undang-undang. Perkara lain di bidang perniagaan ini misalnya, tentang
gugatan pembatalan paten dan gugatan penghapusan pendaftaran merek.
Kedua hal tersebut masuk ke dalam bidang perniagaan dan diatur pula
dalam undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang
Paten dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dengan
kompetensi absolut ini maka hanya Pengadilan Niaga sebagai satu-satunya
badan peradilan yang berhak memeriksa dan memutus perkara-perkara
tersebut. (Martiman Prodjohamidjojo.1999 : 17)
c. Hukum Acara di Pengadilan Niaga
Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa “kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku
adalah Hukum Acara Perdata (HIR/RBg).” Hukum acara yang dipakai
Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan pada dasarnya tetap berpedoman
pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ..
Hukum acara di Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan mempunyai
ciri yang berbeda, antara lain (Martiman Prodjohamidjojo, 1999 : 11-13) :
1) Acara dengan surat
Acara perdata di muka Pengadilan Niaga berlaku dengan tulisan atau surat
(schiftelijke procedure). Acara dengan surat berarti bahwa pemeriksaan
perkara pada pokoknya berjalan dengan tulisan. Akan tetapi, kedua belah
pihak mendapat kesempatan juga untuk menerangkan kedudukannya dengan
lisan.
2) Kewajiban dengan Bantuan Ahli
Pasal 7 ayat (1)Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mewajibkan bantuan
seorang ahli hukum. Adapun dasar yang menjadi pertimbangan ketentuan
tersebut adalah bahwa di dalam suatu proses kepailitan dimana memerlukan
pengetahuan tentang hukum dan kecakapan teknis, perlu kedua pihak yang
bersengketa dibantu oleh seorang atau beberapa ahli yang memiliki
kemampuan teknis, agar segala sesuatunya berjalan dengan layak dan
wajar.
3) Model Liberal-Individualistis
Hukum acara dalam proses kepailitan berpangkal pada pendirian bahwa
hakim pada intinya pasif. Hakim hanya mengawasi supaya
peraturan-peraturan acara yang ditetapkan dengan undang-undang
dijalankan oleh kedua belah pihak. Acara demikian adalah model
liberal-individualistis.
4) Pembuktian Sederhana
Pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga berlangsung lebih
cepat, hal ini dikarenakan Undang-Undang Kepailitan memberikan batasan
waktu proses kepailitan. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan
perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem
pembuktian yang dianut, yaitu bersifat sederhana atau pembuktian secara
sumir, ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang
Kepailitan. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila
terdapat fakta yang terbukti secara sederhana bahwa pernyataan untuk
dinyatakan pailit telah terpenuhi. Pembuktian hanya meliputi syarat
untuk dapat dipailitkan yaitu, adanya utang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih, adanya kreditor yang lebih dari satu serta adanya fakta
bahwa debitor atau termohon pailit telah tidak membayar utangnya. Sifat
pembuktian yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alasan
untuk menolak permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat
menyatakan bahwa perkara yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa.
Jika suatu perkara dikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang
pembuktiannya berbelit-belit, maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus
itu bukan kewenangan Pengadilan Niaga.
5) Waktu pemeriksaan yang terbatas
Pembaharuan yang tak kalah penting dari Undang-Undang Kepailitan ialah
tentang pemeriksaan yang dibatasi waktunya. Undang-Undang Kepailitan
menentukan batas waktu pemeriksaan serta tenggang waktu yang pasti
tentang hari putusan pailit harus diucapkan. Pasal 8 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa Putusan Pengadilan
atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam
puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
6) Putusan bersifat serta merta (UVB)
Menurut Pasal 8 ayat (7) Undang-Undang Kepailitan, putusan atas
permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dapat dilaksanakan
lebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut masih diajukan upaya
hukum. Undang-Undang Kepailitan mewajibkan kurator untuk melaksanakan
segala tugas dan kewenangannya untuk mengurus dan atau membereskan harta
pailit terhitung sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan. Meskipun
putusan pailit tersebut di kemudian hari dibatalkan oleh suatu putusan
yang secara hierarkhi lebih tinggi. Semua kegiatan pengurusan dan
pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan terhitung sejak putusan
kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan, tetap
dinyatakan sah oleh undang-undang.
7) Klausula Arbitrase
Eksistensi Pengadilan Niaga, sebagai Pengadilan yang dibentuk
berdasarkan Pasal 280 ayat (1) Perpu No. 1 tahun 1998 memiliki
kewenangan khusus berupa yurisdiksi substansif eksklusif terhadap
penyelesaian perkara kepailitan. Yurisdiksi substansif eksklusif
tersebut mengesampingkan kewenangan absolut dari Arbitrase sebagai
pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda yang digariskan dalam Pasal 1338
KUH Perdata yang telah memberikan pengakuan extra judicial atas
klausula Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para pihak sebagaimana
telah diperjanjikan. Jadi, walaupun dalam perjanjian telah disepakati
cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase, di sini Pengadilan Niaga
tetap memiliki kewenangan memeriksa dan memutus. Ketentuan tersebut
terdapat dalam Pasal 300 Undang-Undang Kepailitan.
8) Tidak tersedia Upaya Banding
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 dengan tegas
menyatakan bahwa Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas
permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Jadi,
terhadap putusan pada Pengadilan Niaga tingkat pertama tidak dapat
diajukan upaya hukum banding.
d. Hakim Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan memutus perkara Kepailitan atau
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada tingkat pertama dilakukan oleh
Majelis Hakim. Dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan,
Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada
tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal, ketentuan ini
terdapat dalam Pasal 301 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004.
Hakim Pengadilan Niaga diangkat melalui Keputusan Ketua Mahkamah
Agung. Syarat Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Niaga harus memenuhi
ketentuan dalam Pasal 302, antara lain :
1) telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum;
2) mempunyai dedikasi dan mengusai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
3) berwibawa, jujur, adil, dan berkelakukan tidak tercela; dan
4) telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan.
Ketentuan-ketentuan di atas hanyalah dapat dipenuhi oleh hakim karier
saja, namun Undang-Undang Kepailitan juga memberikan peluang adanya
hakim Ad Hoc dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1) mempunyai keahlian;
2) mempunyai dedikasi dan mengusai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
3) berwibawa, jujur, adil,dan berkelakukan tidak tercela; dan
4) telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan.
Berbeda dengan hakim karier, pengangkatan hakim ad hoc tersebut
berdasarkan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung baik pada
tingkat pertama, kasasi maupun peninjauan kembali. Dalam menjalankan
tugasnya, hakim pengadilan niaga dibantu oleh seorang panitera atau
panitera pengganti dan juru sita.(Jono, 2008 : 86)
2) Hukum Acara dalam Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga
Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa Kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku
adalah Hukum Acara Perdata (HIR/RBg). Pengaturan tentang kekhususan
hukum acara Pengadilan Niaga sampai saat ini belum dilakukan secara
tegas dan khusus. Hukum acara Pengadilan Niaga yang ada saat ini
terpisah-pisah sesuai dengan obyek sengketa yang diajukan. Sampai saat
ini, ada dua masalah dan dua UU yang mengatur tentang penunjukan
Pengadilan Niaga sebagai lembaga penyelesaian sengketa, yaitu UU tentang
Kepailitan dan UU tentang HaKI. Hukum acara yang dipakai Pengadilan
Niaga dalam perkara kepailitan pada dasarnya tetap berpedoman pada
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Hukum acara di Pengadilan Niaga dalam
perkara kepailitan mempunyai sifat-sifat khusus yaitu :
a) Acara dengan surat
Acara perdata di muka Pengadilan Niaga berlaku dengan tulisan atau
surat (schiftelijke procedure), berlainan dengan acara yang berlaku di
Pengadilan Negeri yang memungkinkan acara lisan (modelinge procedure).
Acara lisan berarti bahwa pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan
dengan tanya jawab dengan lisan di muka Hakim. Salah satu atau kedua
belah pihak diperbolehkan juga mengajukan surat, bahkan dalam Pasal 121
ayat (2) HIR memberikan kesempatan kepada tergugat untuk menjawab dengan
tulisan. Acara dengan surat berarti bahwa pemeriksaan perkara pada
pokoknya berjalan dengan tulisan. Akan tetapi, kedua belah pihak
mendapat kesempatan juga untuk menerangkan kedudukannya dengan lisan.
(Martiman Prodjohamidjojo, 1999 : 11)
b) Kewajiban dengan Bantuan Ahli
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mewajibkan bantuan seorang ahli
hukum. Adapun dasar yang menjadi pertimbangan ketentuan tersebut adalah
bahwa di dalam suatu proses kepailitan dimana memerlukan pengetahuan
tentang hukum dan kecakapan teknis, perlu kedua pihak yang bersengketa
dibantu oleh seorang atau beberapa ahli yang memiliki kemampuan teknis,
agar segala sesuatunya berjalan dengan layak dan wajar.
c) Model Liberal-Individualistis
Hukum acara dalam proses kepailitan berpangkal pada pendirian bahwa
hakim pada intinya pasif. Hakim hanya mengawasi supaya
peraturan-peraturan acara yang ditetapkan dengan undang-undang
dijalankan oleh kedua belah pihak. Acara demikian adalah model
liberal-individualistis. (Martiman Prodjohamidjojo, 1999 : 13)
d) Pembuktian Sederhana
Pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga berlangsung lebih
cepat, hal ini dikarenakan Undang-Undang Kepailitan memberikan batasan
waktu proses kepailitan. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan
perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem
pembuktian yang dianut, yaitu bersifat sederhan atau pembuktian secara
sumir. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat
fakta yang terbukti secara sederhana bahwa pernyataan untuk dinyatakan
pailit telah terpenuhi. Pembuktian hanya meliputi syarat untuk dapat
dipailitkan yaitu, adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih, adanya kreditor yang lebih dari satu serta adanya fakta bahwa
debitor atau termohon pailit telah tidak membayar utangnya. Sifat
pembuktian yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alasan
untuk menolak permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat
menyatakan bahwa perkara yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa.
Jika suatu perkara dikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang
pembuktiannya berbelit-belit, maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus
itu bukan kewenangan Pengadilan Niaga,melainkan Pengadilan Perdata.
e) Waktu pemeriksaan yang terbatas
Pembaharuan yang tak kalah penting dari Undang-Undang Kepailitan
ialah tentang pemeriksaan yang dibatasi waktunya. Undang-Undang
Kepailitan menentukan batas waktu pemeriksaan serta tenggang waktu yang
pasti tentang hari putusan pailit harus diucapkan. Pasal 8 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa Putusan Pengadilan
atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam
puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
f) Putusan bersifat serta merta (UVB)
Putusan atas permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dapat
dilaksanakan lebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut masih
diajukan upaya hukum. Undang-Undang Kepailitan mewajibkan kurator untuk
melaksanakan segala tugas dan kewenangannnya untuk mengurus dan atau
membereskan harta pailit terhitung sejak putusan pernyataan pailit
ditetapkan. Meskipun putusan pailit tersebut di kemudian hari dibatalkan
oleh suatu putusan yang secara hierarkhi lebih tinggi, semua kegiatan
pengrurusan dan pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan terhitung
sejak putusan kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan,
tetap dinyatakan sah oleh undang-undang. (Ahmad Yani&Gunawan
Widjaja, 2004 : 23-24)
g) Klausula Arbitrase
Eksistensi Pengadilan Niaga, sebagai Pengadilan yang dibentuk
berdasarkan Pasal 280 ayat (1) Perpu No. 1 tahun 1998 memiliki
kewenangan khusus berupa yurisdiksi substansif eksklusif terhadap
penyelesaian perkara kepailitan. Dengan status hukum dan kewenangan
(legal status and power), Pengadilan Niaga memiliki kapasitas hukum
(legal capacity) untuk menyelesaikan permohonan pailit. Yurisdiksi
substansif eksklusif tersebut mengesampingkan kewenangan absolut dari
Arbitrase sebagai pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda yang
digariskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang telah memberikan pengakuan
extra judicial atas klausula Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para
pihak sebagaimana telah diperjanjikan. Jadi, walaupun dalam perjanjian
telah disepakati cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase, di sini
Pengadilan Niaga tetap memiliki kewenangan memeriksa dan memutus.
h) Tidak tersedia Upaya Banding
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 dengan tegas
menyatakan bahwa Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas
permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Jadi,
terhadap putusan pada Pengadilan Niaga tingkat pertama tidak dapat
diajukan upaya hukum banding. Sepanjang menyangkut kreditor, yang dapat
mengajukan kasasi bukan saja kreditor yang merupakan pihak pada
persidangan tingkat pertama, akan tetapi kasasi dapat diajukan pihak
lain yang tidak berperkara, termasuk pula kreditor lain yang bukan pihak
pada tingkat pertama, namun tidak puas terhadap putusan permohonan
pailit yang diputuskan.
daftar pustaka
https://viedkamedia.wordpress.com/peradilan-niaga/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar