Senin, 10 Oktober 2016

quotations letter



Tele-communication Ltd
25, Gulshan, Dhaka-1212
25th Aug, 2004
Manager Purchase Division
Help Line Communication
2nd line Road, Bijoynagar
Dhaka-1100

Ref: Reply to the letter dated 15th August 2004
Dear Sirs,
We thanks you for your enquiry of 30th November and enclose our quotation for plastic curtain material.
We have made a good selection of patterns and sent them to you today by parcel post. Their fine quality, attractive designs and the reasonable prices at which we offer them will, we hope, convince you that these materials are really good value. There is a heavy demand for them for house furnishing from other parts of the country, which we find difficult to meet, but provided we receive your order within the next ten days, we make you a firm offer for delivery by the middle of January at the prices quoted.
On orders for one hundred pieces or more we allow a special discount of 5% for payment within seven days from the date of invoice and look forward to receiving you order.

Your faithfully


Aslam Ahmed
Sales manager,
Tele communication Ltd.

Kamis, 23 Juni 2016

UU Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. OJK didirikan untuk menggantikan peran Bapepam-LK dalam pengaturan dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan, dan menggantikan peran Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan bank, serta untuk melindungi konsumen industri jasa keuangan.

Tujuan

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
  1. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
  2. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
  3. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Tugas dan wewenang

OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
  1. kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan;
  2. kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan
  3. kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan, OJK mempunyai wewenang:
  1. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
  2. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
  3. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
  4. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
  5. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
  6. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
  7. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
  8. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
  9. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang:
  1. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
  2. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
  3. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
  4. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
  5. melakukan penunjukan pengelola statuter;
  6. menetapkan penggunaan pengelola statuter;
  7. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
  8. memberikan dan/atau mencabut:
    1. izin usaha;
    2. izin orang perseorangan;
    3. efektifnya pernyataan pendaftaran;
    4. surat tanda terdaftar;
    5. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
    6. pengesahan;
    7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
    8. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Dewan komisioner

Dewan Komisioner adalah pimpinan tertinggi OJK yang bersifat kolektif dan kolegial. Dewan Komisioner beranggotakan 9 (sembilan) orang anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Susunan Dewan Komisioner terdiri atas:
  1. seorang Ketua merangkap anggota;
  2. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
  3. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
  4. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
  5. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;
  6. seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
  7. seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen;
  8. seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
  9. seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.

Bank Anggota Otoritas Jasa Keuangan

Keterangan:Seluruh Bank Telah Terdaftar Dan Diawasi Oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Selasa, 26 April 2016

UU BUMN

Pada tanggal 19 Juni 2003. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mensahkan UU No. 19/2003 tentang BUMN. Undang-undang terakhir tentang BUMN adalah UU No. 9/1969 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/1969 No. 1/1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negar menjadi Undang-Undang.

Pada UU No. 9/1969, BUMN dibagi menjadi tiga, yaitu Perusahaan Jawatan (perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perseroan (Persero). Pada penjelasannya, UU No. 9/1969 telah memberikan ancangan kedepan, bahwa bentuk BUMN kelak hanya Perum dan Persero. Amanat ini dilaksanakan oleh UU No. 10/2003 dengan menegaskan bahwa bentuk BUMN adalah Perum dan Persero.

Persero BUMN adalah perusahaan yang modalnya terbagi ke dalam saham yang minimal 51% sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia dengan tujuan mencari keuntungan, sementara Perum adalah BUMN yang mempunyai misi pentyediaan barang dan jasa untuk kemanfaatan umum dan mencari keuntungan.

Disamping itu, terdapat empat hal yang dapat dinilai sebagai dukungan terhadap BUMN Persero, yaitu :
Pertama, dinyatakan : Terhadap Persero berlaku Undang-undang No. 1/1995, tentang Perseroan Terbatas, dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Persero adalah RUPS. Kebijakan ini memberikan arah pada Profesionalisasi pengelolaan BUMN.
Catatan :
(UU No. 1/1995 sudah di ganti dengan UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas)
Kedua, tidak secara spesifik disebutkan Menteri BUMN melainkan hanya Menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa mewakili pemegang saham. Dengan demikian, ideal pengelolaan BUMN dapat dicapai, di mana pada suatu masa, ketika BUMN sudah mempunyai pengelolaan yang profesional, baik dalam arti penerapan prinsip-prinsip korporasi yang termuat dalam UU No. 1/1995, juga dalam arti telah mengalami privatisasi, dapat juga lembaga kementerian BUMN tidak cukup relevan lagi keberadaannya. Kebijakan ini memungkinkan bagi peniadaan lembaga kementerian BUMN, karena misi dari kementerian ini memang mempersiapkan BUMN untuk menjadi korporasi kelas dunia yang dikelola secara profesional.

Ketiga, secara khusus pada pasal 64 (1) dan 65 (1) pada intinya menekankan bahwa perombakan BUMN yang bersifat mendasar, baik dalam bentuk penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pembubaran, diatur dengan kebijakan di tingkat Presiden, yaitu Peraturan Pemeritah. Dengan demikian, kebijakan ini mengacu pada makna keberadaan BUMN sebagai badan usaha milik negara sehingga perubahan yang mendasar dilakukan oleh Kepala Negara.

Keempat, dicanangkannya sisi-sisi teknis yang penting bagi peningkatan kualitas pengelolaan BUMN. Pertama adalah dalam hal penerapan prinsip Good Corporate Governance ( Tata Kelola Perusahaan yang Baik) dengan dicantumkannya Satuan Pengawasan Intern dan Komite Audit. Kedua, pencatuman cara peningkatan performa BUMN dengan metode restrukturisasi, yaitu upaya penyehatan, dan metode privatisasi, yaitu pelepasan kepemilikan negara kepada privat.****



daftar pustaka
 http://comfortarea01.blogspot.co.id/2008/05/ringkasan-uu-no-192003-tentang-bumn.html

Perbedaan Hukum Pidana dengan Hukum Perdata

Menurut seorang ahli hukum, E.Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk hidup, perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu. Secara umum, masyarakat Indonesia mengenal dua hukum yang sering diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu hukum pidana dan hukum perdata (meskipun realitanya masih banyak hukum lain yang berlaku di Indonesia).
Hukum pidana dan hukum perdata begitu familiar di telinga masyarakat Indonesia. Namun, meskipun kedua hukum ini sering diberlakukan, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang tahu dan mengerti mengenai perbedaan antara hukum pidana dengan hukum perdata. Hal itu disebabkan karena kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hukum belum begitu baik. Untuk itu, artikel ini akan memberikan perbedaan-perbedaan antara hukum pidana dengan hukum perdata secara sederhana agar mudah dipahami oleh pembaca. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain adalah:
Perbedaan secara teori defenisi
Secara defenisi, hukum pidana dan hukum perdata jelas terlihat perbedaan antara keduanya. Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat (warga negara) dengan negara yang menguasai tata tertib dalam masyarakat itu. Itu sebabnya hukum pidana disebut juga sebagai hukum publik atau hukum negara. Disini, Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan-perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya. Contohnya perkosaan, perzinahan, pencurian, pembunuhan.
Sedangkan hukum perdata merupakan hubungan hukum antara orang yang satu dengan yang lan dengan menitikberatkan kepentingan perseorangan. Itu sebabnya Hukum perdata disebut juga sebagai hukum privat atau hukum sipil. Dsini yang termasuk hukum perdata adalah Hukum keluarga, Hukum harta kekayaan, Hukum benda, Hukum Perikatan dan Hukum Waris.
Perbedaan antara Hukum Pidana dengan Hukum Perdata
Perbedaan sumber hukum yang digunakan
Hukum pidana dan hukum perdata masing-masing memiliki sumber hukum yang paling dominan dalam proses penegakan hukum. Segala peraturan hukum pidana dimuat dalam satu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang popular disingkat dengan KUHP. KUHP menjadi acuan utama para perangkat penegak hukum (polisi, hakim dan jaksa) dalam mengadili suatu perkara. Meskipun demikian, KUHP masih didukung pula oleh Undang-Undang Pidana di luar KUHP pada perkara-perkara tertentu, misalnya Undang-Undang Tindak Pidana Koprupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan lain sebagainya.
Sementara itu, berbeda dengan sumber hukum yang digunakan untuk perkara perdata. Hukum perdata mengacu pada satu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/ KUHPer. Lebih populer lagi kitab KUHPer disebut dengan BW atau Burgelijk Wetboek.
Perbedaan dalam mengadili dan dalam pelaksanaannya
Dari segi mengadili dan pelaksanaannya di pengadilan, masing-masing hukum pidana dan hukum perdata memiliki ketentuan sendiri-sendiri. Seperti pada hukum pidana, dimana proses beracara pidana di pengadilan langsung bersumber atau datang pada inisiatif penuntut umum atau jaksa. Dalam proses mengadili, hukum acara pidana mengatur cara mengadili perkara pidana di muka pengadilan pidana oleh seseorang yang disebut dengan hakim pidana. Jika dalam suatu kasus ditemukan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan hukum pidana, maka tindakan akan segrea dilakukan oleh perangkat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) tanpa menunggu pihak yang dirugikan tindak pidana tersebut melaporkannya terlebih dahulu. Para perangkat penegak hukum tersebut akan bertindak atas inisiatifnya untuk menegakkan hukum dan sesuai dengan peraturan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Berbeda dengan hukum perdata, dimana proses beracara perdata di pengadilan langsung bersumber atau datang pada inisisatif dari pihak berkepentingan yang dirugikan. Dalam proses mengadili, hukum acara perdatanya mengatur cara mengadili perkara perdata di muka pengadilan perdata oleh seseorang yang disebut dengan hakim perdata. Jika dalam suatu kasus terjadi pelanggaran norma hukum perdata, maka kasus hokum tersebut akan ditindaki oleh pengadilan setelah adanya pengaduan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh pihak yang lain. Pihak yang mengadukan pelanggaran nantinya disebut sebagai penggugat dan pihak yang dilaporkan akan disebut sebagai tergugat dalam perkara tersebut.
Perbedaan dalam penuntutan
Dalam penuntutan suatu perkara, perbedaan antara hukum pidana dengan hukum perdata terlihat pada saat proses beracara di pengadilan berlangsung. Dalam acara pidana, jaksa menjadi penuntut umum yang mewakili Negara berhadapan dengan si terdakwa. Di sini terdapat seorang jaksa.
Sedangkan Dalam acara perdata, yang menuntut si tergugat adalah pihak yang dirugikan. Penggugat berhadapan langsung dengan tergugat, jadi tidak ada penuntut umum atau jaksa.
Perbedaan dalam penafsiran
Penafsiran hukum yang akan diberlakukan untuk masing-masing perkara perdata dan pidana akan saling berbeda. Di mana dalam hukum pidana hanya boleh ditafsirkan menurut arti kata dalam Undang-Undang Hukum Pidana itu sendiri. (penafsiran otentik), sehingga akibat yang ditimbulkan dari pemberlakuan aturan hukumnya tidak dapat disimpangi atau bersifat absolut.
Sementara itu berbeda dengan penafsiran dalam hukum perdata, hukum perdata memperbolehkan untuk melakukan berbagai interpretasi terhadap Undang-Undang Hukum Perdata. Sehingga akibat yang ditimbulkan dari pemberlakuan hukum bisa disimpangi atau bersifat relatif.
Demikianlah penjelasan singkat mengenai perbedaan antara hukum pidana dengan hukum perdata di Indonesia. Semoga pembaca bisa mengerti inti perbedaan antara kedua hukum tersebut, serta tahu kapan pemberlakuan hukum pidana dan hukum perdata.




daftar pustaka
 http://informasitips.com/perbedaan-hukum-pidana-dengan-hukum-perdata

Pengadilan Niaga

Pengadilan Niaga sebagai Lembaga Penyelesaian Perkara Kepailitan
Pembentukan peradilan niaga
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat didirikan pada tahun 1998. Pada awalnya, kompetensi absolut Pengadilan Niaga terbatas hanya mengadili perkara-perkara berdasarkan Undang-Undang Kepailitan yang baru. Namun pada tahun 2001, kompetensi tersebut diperluas sehingga mencakup kewenangan untuk mengadili perkara Hak a A tas Kekayaan Intelektual (H A a KI).
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat merupakan satu diantara lima Pengadilan Niaga lainnya di Indonesia. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat adalah Pengadilan Niaga pertama yang dibentuk berdasarkan Pasal 306 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Keempat lainnya yaitu di Semarang, Surabaya, Medan dan Makassar didirikan berdasarkan keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999.
Persidangan perkara di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat meliputi perkara Kepailitan, PKPU dan gugatan dalam perkara perlindungan hak atas kekayaan intelektual yaitu: hak cipta, merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu dan paten.
Pengadilan niaga dalam kepailitan
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 menambah satu bab baru yaitu Bab Ketiga mengenai Pengadilan Niaga. Pembentukan peradilan khusus ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah kepailitan secara cepat dan efektif. Pengadilan Niaga merupakan diferensiasi atas peradilan umum yang dimungkinkan pembentukanya berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kekuasaan kehakiman.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang merupakan pembaharuan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, tidak mengatur Pengadilan Niaga pada bab tersendiri, akan tetapi masuk pada Bab V tentang Ketentuan Lain-lain mulai dari Pasal 299 sampai dengan Pasal 303. Demikian juga dalam penyebutannya pada setiap pasal cukup dengan menyebutkan kata “Pengadilan” tanpa ada kata “Niaga” karena merujuk pada Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 7 bahwa Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam Lingkungan peradilan umum.
a. Tugas dan Wewenang Pengadilan Niaga
Mengenai tugas dan wewenang Pengadilan Niaga ini pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 diatur dalam Pasal 280, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diatur pada Pasal 300. Pengadilan Niaga merupakan lembaga peradilan yang berada di bawah lingkungan Peradilan Umum yang mempunyai tugas sebagai berikut (Rahayu Hartini, 2008 : 258 ) :
1) Memeriksa dan memutusakan permohonan pernyataan pailit;
2) Memeriksa dan memutus permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
3) Memeriksa perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya ditetapkan dengan undang-undang, misalnya sengketa di bidang HaKI.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 juga mengatur tentang kewenangan Pengadilan Niaga dalam hubungannya dengan perjanjian yang mengadung klausula arbitrase. Dalam Pasal 303 ditentukan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tentang syarat-syarat kepailitan. Ketentuan pasal tersebut dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piutang yang mereka buat memuat klausula arbitrase.
b. Kompetensi Pengadilan Niaga
1) Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif merupakan kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga sampai saat ini baru ada lima. Pengadilan Niaga tersebut berkedudukan sama di Pengadilan Negeri. Pengadilan Niaga hanya berwenang memeriksa dan memutus perkara pada daerah hukumnya masing-masing. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit diputus oleh Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor, apabila debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, maka Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor. Dalam hal debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan.
Debitur yang tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia. Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya. (Rudy A Lontoh & et. al, 2001 : 159)
2) Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut merupakan kewenangan memeriksa dan mengadili antar badan peradilan. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur tentang badan peradilan beserta kewenangan yang dimiliki. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada di bawah Pengadilan umum yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selain itu, menurut Pasal 300 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga juga berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. Perkara lain di bidang perniagaan ini misalnya, tentang gugatan pembatalan paten dan gugatan penghapusan pendaftaran merek. Kedua hal tersebut masuk ke dalam bidang perniagaan dan diatur pula dalam undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dengan kompetensi absolut ini maka hanya Pengadilan Niaga sebagai satu-satunya badan peradilan yang berhak memeriksa dan memutus perkara-perkara tersebut. (Martiman Prodjohamidjojo.1999 : 17)
c. Hukum Acara di Pengadilan Niaga
Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa “kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata (HIR/RBg).” Hukum acara yang dipakai Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan pada dasarnya tetap berpedoman pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ..
Hukum acara di Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan mempunyai ciri yang berbeda, antara lain (Martiman Prodjohamidjojo, 1999 : 11-13) :
1) Acara dengan surat
Acara perdata di muka Pengadilan Niaga berlaku dengan tulisan atau surat (schiftelijke procedure). Acara dengan surat berarti bahwa pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan dengan tulisan. Akan tetapi, kedua belah pihak mendapat kesempatan juga untuk menerangkan kedudukannya dengan lisan.
2) Kewajiban dengan Bantuan Ahli
Pasal 7 ayat (1)Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mewajibkan bantuan seorang ahli hukum. Adapun dasar yang menjadi pertimbangan ketentuan tersebut adalah bahwa di dalam suatu proses kepailitan dimana memerlukan pengetahuan tentang hukum dan kecakapan teknis, perlu kedua pihak yang bersengketa dibantu oleh seorang atau beberapa ahli yang memiliki kemampuan teknis, agar segala sesuatunya berjalan dengan layak dan wajar.
3) Model Liberal-Individualistis
Hukum acara dalam proses kepailitan berpangkal pada pendirian bahwa hakim pada intinya pasif. Hakim hanya mengawasi supaya peraturan-peraturan acara yang ditetapkan dengan undang-undang dijalankan oleh kedua belah pihak. Acara demikian adalah model liberal-individualistis.
4) Pembuktian Sederhana
Pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga berlangsung lebih cepat, hal ini dikarenakan Undang-Undang Kepailitan memberikan batasan waktu proses kepailitan. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut, yaitu bersifat sederhana atau pembuktian secara sumir, ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta yang terbukti secara sederhana bahwa pernyataan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Pembuktian hanya meliputi syarat untuk dapat dipailitkan yaitu, adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, adanya kreditor yang lebih dari satu serta adanya fakta bahwa debitor atau termohon pailit telah tidak membayar utangnya. Sifat pembuktian yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alasan untuk menolak permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat menyatakan bahwa perkara yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa. Jika suatu perkara dikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang pembuktiannya berbelit-belit, maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus itu bukan kewenangan Pengadilan Niaga.
5) Waktu pemeriksaan yang terbatas
Pembaharuan yang tak kalah penting dari Undang-Undang Kepailitan ialah tentang pemeriksaan yang dibatasi waktunya. Undang-Undang Kepailitan menentukan batas waktu pemeriksaan serta tenggang waktu yang pasti tentang hari putusan pailit harus diucapkan. Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
6) Putusan bersifat serta merta (UVB)
Menurut Pasal 8 ayat (7) Undang-Undang Kepailitan, putusan atas permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut masih diajukan upaya hukum. Undang-Undang Kepailitan mewajibkan kurator untuk melaksanakan segala tugas dan kewenangannya untuk mengurus dan atau membereskan harta pailit terhitung sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan. Meskipun putusan pailit tersebut di kemudian hari dibatalkan oleh suatu putusan yang secara hierarkhi lebih tinggi. Semua kegiatan pengurusan dan pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan terhitung sejak putusan kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan, tetap dinyatakan sah oleh undang-undang.
7) Klausula Arbitrase
Eksistensi Pengadilan Niaga, sebagai Pengadilan yang dibentuk berdasarkan Pasal 280 ayat (1) Perpu No. 1 tahun 1998 memiliki kewenangan khusus berupa yurisdiksi substansif eksklusif terhadap penyelesaian perkara kepailitan. Yurisdiksi substansif eksklusif tersebut mengesampingkan kewenangan absolut dari Arbitrase sebagai pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda yang digariskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang telah memberikan pengakuan extra judicial atas klausula Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para pihak sebagaimana telah diperjanjikan. Jadi, walaupun dalam perjanjian telah disepakati cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase, di sini Pengadilan Niaga tetap memiliki kewenangan memeriksa dan memutus. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 300 Undang-Undang Kepailitan.
8) Tidak tersedia Upaya Banding
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 dengan tegas menyatakan bahwa Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Jadi, terhadap putusan pada Pengadilan Niaga tingkat pertama tidak dapat diajukan upaya hukum banding.
d. Hakim Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan memutus perkara Kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada tingkat pertama dilakukan oleh Majelis Hakim. Dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan, Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 301 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004.
Hakim Pengadilan Niaga diangkat melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Syarat Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Niaga harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 302, antara lain :
1) telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum;
2) mempunyai dedikasi dan mengusai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
3) berwibawa, jujur, adil, dan berkelakukan tidak tercela; dan
4) telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan.
Ketentuan-ketentuan di atas hanyalah dapat dipenuhi oleh hakim karier saja, namun Undang-Undang Kepailitan juga memberikan peluang adanya hakim Ad Hoc dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1) mempunyai keahlian;
2) mempunyai dedikasi dan mengusai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
3) berwibawa, jujur, adil,dan berkelakukan tidak tercela; dan
4) telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan.
Berbeda dengan hakim karier, pengangkatan hakim ad hoc tersebut berdasarkan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung baik pada tingkat pertama, kasasi maupun peninjauan kembali. Dalam menjalankan tugasnya, hakim pengadilan niaga dibantu oleh seorang panitera atau panitera pengganti dan juru sita.(Jono, 2008 : 86)
2) Hukum Acara dalam Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga
Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa Kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata (HIR/RBg). Pengaturan tentang kekhususan hukum acara Pengadilan Niaga sampai saat ini belum dilakukan secara tegas dan khusus. Hukum acara Pengadilan Niaga yang ada saat ini terpisah-pisah sesuai dengan obyek sengketa yang diajukan. Sampai saat ini, ada dua masalah dan dua UU yang mengatur tentang penunjukan Pengadilan Niaga sebagai lembaga penyelesaian sengketa, yaitu UU tentang Kepailitan dan UU tentang HaKI. Hukum acara yang dipakai Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan pada dasarnya tetap berpedoman pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hukum acara di Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan mempunyai sifat-sifat khusus yaitu :
a) Acara dengan surat
Acara perdata di muka Pengadilan Niaga berlaku dengan tulisan atau surat (schiftelijke procedure), berlainan dengan acara yang berlaku di Pengadilan Negeri yang memungkinkan acara lisan (modelinge procedure). Acara lisan berarti bahwa pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan dengan tanya jawab dengan lisan di muka Hakim. Salah satu atau kedua belah pihak diperbolehkan juga mengajukan surat, bahkan dalam Pasal 121 ayat (2) HIR memberikan kesempatan kepada tergugat untuk menjawab dengan tulisan. Acara dengan surat berarti bahwa pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan dengan tulisan. Akan tetapi, kedua belah pihak mendapat kesempatan juga untuk menerangkan kedudukannya dengan lisan. (Martiman Prodjohamidjojo, 1999 : 11)
b) Kewajiban dengan Bantuan Ahli
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mewajibkan bantuan seorang ahli hukum. Adapun dasar yang menjadi pertimbangan ketentuan tersebut adalah bahwa di dalam suatu proses kepailitan dimana memerlukan pengetahuan tentang hukum dan kecakapan teknis, perlu kedua pihak yang bersengketa dibantu oleh seorang atau beberapa ahli yang memiliki kemampuan teknis, agar segala sesuatunya berjalan dengan layak dan wajar.
c) Model Liberal-Individualistis
Hukum acara dalam proses kepailitan berpangkal pada pendirian bahwa hakim pada intinya pasif. Hakim hanya mengawasi supaya peraturan-peraturan acara yang ditetapkan dengan undang-undang dijalankan oleh kedua belah pihak. Acara demikian adalah model liberal-individualistis. (Martiman Prodjohamidjojo, 1999 : 13)
d) Pembuktian Sederhana
Pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga berlangsung lebih cepat, hal ini dikarenakan Undang-Undang Kepailitan memberikan batasan waktu proses kepailitan. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut, yaitu bersifat sederhan atau pembuktian secara sumir. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta yang terbukti secara sederhana bahwa pernyataan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Pembuktian hanya meliputi syarat untuk dapat dipailitkan yaitu, adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, adanya kreditor yang lebih dari satu serta adanya fakta bahwa debitor atau termohon pailit telah tidak membayar utangnya. Sifat pembuktian yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alasan untuk menolak permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat menyatakan bahwa perkara yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa. Jika suatu perkara dikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang pembuktiannya berbelit-belit, maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus itu bukan kewenangan Pengadilan Niaga,melainkan Pengadilan Perdata.
e) Waktu pemeriksaan yang terbatas
Pembaharuan yang tak kalah penting dari Undang-Undang Kepailitan ialah tentang pemeriksaan yang dibatasi waktunya. Undang-Undang Kepailitan menentukan batas waktu pemeriksaan serta tenggang waktu yang pasti tentang hari putusan pailit harus diucapkan. Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
f) Putusan bersifat serta merta (UVB)
Putusan atas permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut masih diajukan upaya hukum. Undang-Undang Kepailitan mewajibkan kurator untuk melaksanakan segala tugas dan kewenangannnya untuk mengurus dan atau membereskan harta pailit terhitung sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan. Meskipun putusan pailit tersebut di kemudian hari dibatalkan oleh suatu putusan yang secara hierarkhi lebih tinggi, semua kegiatan pengrurusan dan pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan terhitung sejak putusan kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan, tetap dinyatakan sah oleh undang-undang. (Ahmad Yani&Gunawan Widjaja, 2004 : 23-24)
g) Klausula Arbitrase
Eksistensi Pengadilan Niaga, sebagai Pengadilan yang dibentuk berdasarkan Pasal 280 ayat (1) Perpu No. 1 tahun 1998 memiliki kewenangan khusus berupa yurisdiksi substansif eksklusif terhadap penyelesaian perkara kepailitan. Dengan status hukum dan kewenangan (legal status and power), Pengadilan Niaga memiliki kapasitas hukum (legal capacity) untuk menyelesaikan permohonan pailit. Yurisdiksi substansif eksklusif tersebut mengesampingkan kewenangan absolut dari Arbitrase sebagai pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda yang digariskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang telah memberikan pengakuan extra judicial atas klausula Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para pihak sebagaimana telah diperjanjikan. Jadi, walaupun dalam perjanjian telah disepakati cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase, di sini Pengadilan Niaga tetap memiliki kewenangan memeriksa dan memutus.
h) Tidak tersedia Upaya Banding
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 dengan tegas menyatakan bahwa Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Jadi, terhadap putusan pada Pengadilan Niaga tingkat pertama tidak dapat diajukan upaya hukum banding. Sepanjang menyangkut kreditor, yang dapat mengajukan kasasi bukan saja kreditor yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, akan tetapi kasasi dapat diajukan pihak lain yang tidak berperkara, termasuk pula kreditor lain yang bukan pihak pada tingkat pertama, namun tidak puas terhadap putusan permohonan pailit yang diputuskan.




daftar pustaka
 https://viedkamedia.wordpress.com/peradilan-niaga/
 

WTO

World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Terbentuk sejak tahun 1995, WTO berjalan berdasarkan serangkaian perjanjian yang dinegosiasikan dan disepakati oleh sejumlah besar negara di dunia dan diratifikasi melalui parlemen. Tujuan dari perjanjian-perjanjian WTO adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam melakukan kegiatannya.

Pendirian WTO berawal dari negosiasi yang dikenal dengan "Uruguay Round" (1986 - 1994) serta perundingan sebelumnya di bawah "General Agreement on Tariffs and Trade" (GATT). WTO saat ini terdiri dari 154 negara anggota, di mana 117 di antaranya merupakan negara berkembang atau wilayah kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah "Doha Development Agenda" (DDA) yang dimulai tahun 2001.

Pengambilan keputusan di WTO umumnya dilakukan berdasarkan konsensus oleh seluruh negara anggota. Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Di antara KT, kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh General Council. Di bawahnya terdapat badan-badan subsider yang meliputi dewan, komite, dan sub-komite yang bertugas untuk melaksanakan dan mengawasi penerapan perjanjian-perjanjian WTO oleh negara anggota.

Prinsip pembentukan dan dasar WTO adalah untuk mengupayakan keterbukaan batas wilayah, memberikan jaminan atas "Most-Favored-Nation principle" (MFN) dan perlakuan non-diskriminasi oleh dan di antara negara anggota, serta komitmen terhadap transparansi dalam semua kegiatannya. Terbukanya pasar nasional terhadap perdagangan internasional dengan pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai, dipandang akan mendorong dan membantu pembangunan yang berkesinambungan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan membangun perdamaian dan stabilitas. Pada saat yang bersamaan, keterbukaan pasar harus disertai dengan kebijakan nasional dan internasional yang sesuai dan yang dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi setiap negara anggota.

Terkait dengan DDA, KTM Doha pada tahun 2001 memandatkan negara anggota untuk melakukan putaran perundingan dengan tujuan membentuk tata perdagangan multilateral yang berdimensi pembangunan. Tata perdagangan ini akan memberikan kesempatan bagi negara berkembang dan LDCs untuk dapat memanfaatkan perdagangan internasional sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan. Isu-isu utama yang dibahas mencakup isu pertanian, akses pasar produk bukan pertanian (Non-Agricultural Market Access—NAMA), perdagangan bidang jasa, dan Rules.

Dalam perkembangannya, isu pertanian khususnya terkait penurunan subsidi domestik dan tarif produk pertanian menjadi isu yang sangat menentukan jalannya proses perundingan. Bagi sebagian besar negara berkembang, isu pertanian sangat terkait dengan permasalahan sosial ekonomi (antara lain food security, livelihood security dan rural development). Sementara bagi negara maju, pemberian subsidi domestik mempunyai dimensi politis yang penting dalam kebijakan pertanian mereka.

Proses perundingan DDA tidak berjalan mulus. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan posisi runding di antara negara anggota terkait isu-isu sensitif, khususnya pertanian dan NAMA. Setelah mengalami sejumlah kegagalan hingga dilakukan "suspension" pada bulan Juni 2006, proses perundingan secara penuh dilaksanakan kembali awal Februari 2007. Pada bulan Juli 2008, diadakan perundingan tingkat menteri dengan harapan dapat menyepakati modalitas pertanian dan NAMA, dan menggunakan isu-isu single-undertaking seperti isu perdagangan bidang jasa, kekayaan intelektual, pembangunan, dan penyelesaian sengketa. Namun perundingan Juli 2008 juga mengalami kegagalan.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong kemajuan dalam perundingan, mulai dari pertemuan tingkat perunding, Pejabat Tinggi, dan Tingkat Menteri; baik dalam format terbatas (plurilateral dan bilateral) maupun multilateral. Namun semua upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pihak-pihak utama yang terlibat tampaknya belum dapat bergerak dari posisi awal mereka.

Target Program Kerja WTO di tahun 2011 adalah 9 (sembilan) Komite/Negotiating Groups diharapkan mengeluarkan “final texts” atau teks modalitas yang akan menjadi dasar kesepakatan single undertaking Putaran Doha pada bulan April 2011. Selanjutnya, kesepakatan atas keseluruhan paket Putaran Doha tersebut diharapkan selesai pada bulan Juli 2011; dan pada akhirnya seluruh jadwal dan naskah hukum kesepakatan Putaran Doha selesai (ditandatangani) akhir tahun 2011. Namun target tersebut tampaknya sudah terlampaui batas waktunya dan belum ada perubahan terhadap Program Kerja yang ada.

Pada bulan Desember 2011, telah diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Jenewa. KTM menyepakati elemen-elemen arahan politis (political guidance) yang akan menentukan program kerja WTO dan Putaran Doha (Doha Development Agenda) dua tahun ke depan. Arahan politis yang disepakati bersama tersebut terkait tema-tema sebagai berikut: (i) penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO; (ii) penguatan aktivitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan; dan (iii) langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha.

Sebuah titik terang muncul pada KTM ke-9 (Bali, 3 – 7 Desember 2013), di mana untuk pertama kalinya dalam sejarah WTO, organisasi ini dianggap telah “fully-delivered”. Negara-negara anggota WTO telah menyepakati “Paket Bali” sebagai outcome dari KTM ke-9 WTO. Isu-isu dalam Paket Bali—mencakup isu Fasilitasi Perdagangan, Pembangunan dan LDCs, serta Pertanianmerupakan sebagian dari isu perundingan DDA.

Disepakatinya Paket Bali merupakan suatu capaian historis. Pasalnya, sejak dibentuknya WTO pada tahun 1995, baru kali ini WTO mampu merumuskan suatu perjanjian baru yaitu Perjanjian Fasilitasi Perdagangan. Perjanjian ini bertujuan untuk melancarkan arus keluar masuk barang antar negara di pelabuhan dengan melakukan reformasi pada mekanisme pengeluaran dan pemasukan barang yang ada. Arus masuk keluar barang yang lancar di pelabuhan tentu akan dapat mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan daya saing perekonomian dan memperluas akses pasar produk ekspor Indonesia di luar negeri.

Selain itu, Paket Bali juga mencakup disepakatinya fleksibilitas dalam isu public stokholding for food security. Hal ini akan memberikan keleluasaan bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk memberikan subsidi bagi ketersediaan pangan yang murah bagi rakyat miskin, tanpa khawatir digugat di forum Dispute Settlement Body ­WTO.

Dengan Paket Bali, kredibilitas WTO telah meningkat sebagai satu-satunya forum multilateral yang menangani kegiatan perdagangan internasional, sekaligus memulihkan political confidence dari seluruh negara anggota WTO mengenai pentingnya penyelesaian perundingan DDA. Hal tersebut secara jelas tercantum dalam Post Bali Work, di mana negara-negara anggota diminta untuk menyusun work program penyelesaian DDA di tahun 2014. Selesainya perundingan DDA akan memberikan manfaat bagi negara-negara berkembang dan LDCs dalam berintegrasi ke dalam sistem perdagangan multilateral.

Indonesia di WTO

Keterlibatan dan posisi Indonesia dalam proses perundingan DDA didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Dalam kaitan ini, untuk memperkuat posisi runding Indonesia bergabung dengan beberapa koalisi. Koalisi-koalisi tersebut antara lain G-33, G-20, NAMA-11, yang kurang lebih memiliki kepentingan yang sama. Indonesia terlibat aktif dalam kelompok-kelompok tersebut dalam merumuskan posisi bersama yang mengedepankan pencapaian development objectives dari DDA. Indonesia juga senantiasa terlibat aktif di isu-isu yang menjadi kepentingan utama Indonesia, seperti pembangunan, kekayaan intelektual, lingkungan hidup, dan pembentukan aturan WTO yang mengatur perdagangan multilateral.

Indonesia selaku koordinator G-33 juga terus melaksanakan komitmen dan peran kepemimpinannya dengan mengadakan serangkaian pertemuan tingkat pejabat teknis dan Duta Besar/Head of Delegations, Senior Official Meeting dan Pertemuan Tingkat Menteri; baik secara rutin di Jenewa maupun di luar Jenewa. Hal ini bertujuan demi tercapainya kesepakatan yang memberikan ruang bagi negara berkembang untuk melindungi petani kecil dan miskin. Sebagai koalisi negara berkembang, G-33 tumbuh menjadi kelompok yang memiliki pengaruh besar dalam perundingan pertanian; anggotanya saat ini bertambah menjadi 46 negara.

Indonesia menilai bahwa apa yang sudah disepakati sampai saat ini (draf modalitas pertanian dan NAMA) merupakan basis yang kuat bagi perundingan selanjutnya yang sudah mencapai tahap akhir. Dalam kaitan ini, adanya upaya untuk meninjau kembali kesepakatan umum yang sudah dicapai diharapkan tidak akan mengubah keseimbangan yang ada dan backtracking kemajuan yang sudah berhasil dicapai.

Negara-negara anggota diharapkan bersikap pragmatis dan secepatnya menyelesaikan Putaran Doha berdasarkan tingkat ambisi dan balance yang ada saat ini. Selanjutnya, diharapkan negara-negara anggota ini membicarakan ambisi baru pasca-Doha, walaupun adanya dorongan dari negara maju untuk meningkatkan level of ambition akses pasar Putaran Doha melebihi Draf Modalitas tanggal 6 Desember 2008.

Indonesia memiliki kepentingan untuk tetap aktif mendorong komitmen WTO untuk melanjutkan perundingan Doha. Indonesia terbuka atas cara-cara baru untuk menyelesaikan perundingan dengan tetap mengedepankan prinsip single undertaking dan mengutamakan pembangunan bagi negara berkembang dan LDCs.


Daftar Pustaka 
http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/kerjasama-multilateral/Pages/World-Trade-Organization-%28WTO%29.aspx

Selasa, 05 April 2016

Bosan Kerja Kantoran



Siapa yang tidak tau tempat ini, apalagi untuk pecinta sambal. Ternyata dibalik tenarnya warung ini ada kisah inspiratif di dalamnya. Buat anda yang sudah bosan bekerja sebagai pegawai, siapa tau bisa mengikuti jejak pendiri “WSS” ini.

Semoga menginspirasi yaaa!!!

Berawal dari kegemaran akan sambal, seorang sarjana teknik kimia UGM rela melepaskan jabatannya sebagai menejer di sebuah perusahaan terkenal di Yogya untuk memulai membuka usaha warung tenda bersama teman-temannya. Pada tahun 2002 dengan konsep warung tenda Yoyok Heri Wahyono bersama teman-temannya membukausaha makanan dengan mengandalkan cita rasa sambal yang pedas.
Dengan nama “Waroeng Spesial Sambal (SS)” pria 38 tahun ini berkeinginan memanjakan konsumennya dengan pilihan sambal yang bervariasi, tidak tanggung-tanggung 28 jenis sambal disiapkan sebagai pendamping lauk pauk dan nasi dengan tingkat kepedasan di atas rata-rata. Jadi walaupun lauknya sama tetapi sambalnya bisa berbeda-beda.
Digawangi 6 orang tenaga kerja termasuk Yoyok, tempat pertama berkonsep warung tenda didirikan di pinggir jalan, Jln. Kaliurang sebelah barat Grha Sabha Pramana UGM. Menyajikan pilihan sayur seperti ca kangkung, trancam, ca jamur, pecel, plencing jawa, dan sayur asem. Sementara lauknya, tersedia ayam goreng, bandeng goreng, nila goreng, tempe, tahu, iso babat, lele, udang, dan daging sapi. Harga yang ditawarkan pun sangat terjangkau, apalagi bagi pelajar dan mahasiswa yang merupakan pasar utama yang dibidik.
waroeng-spesial-sambal-ssBisnis warung tenda dengan menu khas aneka sambal ini pun terus berkembang, dan semakin diterima masyarakat dan selanjutnya dengan keyakinan penuh akhirnya dibukalah Waroeng SS-02 di daerah Condong Catur. Melihat perkembangan yang baik, kemudian dengan modal patungan bersama beberapa temannya Yoyok kembali membuka cabang Waroeng SS-03 di daerah Seturan.
Perlahan tapi pasti berawal dari warung tenda pinggir jalan kini Waroeng SS telah memiliki 40 outlet yang tersebar di Yogya, Solo, Semarang, Bandung, Jakarta, Malang hingga Pekanbaru. Di Yogya sendiri terdapat 11 outlet plus satu warung tenda pertama yang masih bertahan hingga saat ini.
Banyaknya cabang yang berdiri terutama di area Yogya, Waroeng SS akhirnya memiliki dapur terpadu di belakang kantor pusat di daerah Pogung Yogya. Dapur terpadu tersebut berfungsi mengolah masakan yang akan didistribusikan ke seluruh outlet di area Yogya. Semua outlet mendapat pasokan makanan setengah matang. Ini dimaksudkan agar cita rasa tetap terjaga, jadi walaupun berbeda outlet namun pengunjung tidak akan mendapatkan rasa yang berbeda.
Meskipun namanya “waroeng”  namun layanan kepada pelanggan yang diberikan tidak kalah dengan restoran-restoran besar lainnya. Termasuk salah satu layanan yang diberikan yaitu layanan pesan antar dalam jangkauan ± 5 km dari kantor pusat dengan minimal order Rp 20.000 saja.
Kini Yoyok yang identik dengan sebutan Mr. Huuh Haah bersama Waroeng SS nya berhasil menjadi salah satu pioneer dalam bisnis kuliner ini. Kalau Mr. Huuh Haah saja bisa, Anda pun pasti biasa.