Pengadilan Niaga sebagai Lembaga Penyelesaian Perkara Kepailitan
Pembentukan  peradilan niaga
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat didirikan pada tahun 1998. Pada awalnya, 
kompetensi absolut Pengadilan Niaga terbatas hanya mengadili 
perkara-perkara berdasarkan Undang-Undang Kepailitan yang baru. Namun 
pada tahun 2001, kompetensi tersebut diperluas sehingga mencakup 
kewenangan untuk mengadili perkara Hak a A tas Kekayaan Intelektual (H A
 a KI). 
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat merupakan satu diantara lima 
Pengadilan Niaga lainnya di Indonesia. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat 
adalah Pengadilan Niaga pertama yang dibentuk berdasarkan Pasal 306 
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 jo 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang 
Kepailitan. Keempat lainnya yaitu di Semarang, Surabaya, Medan dan 
Makassar didirikan berdasarkan keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999.
Persidangan perkara di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat meliputi perkara 
Kepailitan, PKPU dan gugatan dalam perkara perlindungan hak atas 
kekayaan intelektual yaitu: hak cipta, merek, desain industri, desain 
tata letak sirkuit terpadu dan paten.
Pengadilan niaga dalam kepailitan
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 menambah satu bab baru yaitu Bab 
Ketiga mengenai Pengadilan Niaga. Pembentukan peradilan khusus ini 
diharapkan dapat menyelesaikan masalah kepailitan secara cepat dan 
efektif. Pengadilan Niaga merupakan diferensiasi atas peradilan umum 
yang dimungkinkan pembentukanya berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kekuasaan kehakiman. 
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang merupakan pembaharuan dari 
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, tidak mengatur Pengadilan Niaga pada 
bab tersendiri, akan tetapi masuk pada Bab V tentang Ketentuan Lain-lain
 mulai dari Pasal 299 sampai dengan Pasal 303. Demikian juga dalam 
penyebutannya pada setiap pasal cukup dengan menyebutkan kata 
“Pengadilan” tanpa ada kata “Niaga” karena merujuk pada Bab I tentang 
Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 7 bahwa Pengadilan adalah Pengadilan Niaga
 dalam Lingkungan peradilan umum.
a. Tugas dan Wewenang Pengadilan Niaga
Mengenai tugas dan wewenang Pengadilan Niaga ini pada Undang-Undang 
Nomor 4 Tahun 1998 diatur dalam Pasal 280, sedangkan dalam Undang-Undang
 Nomor 37 Tahun 2004 diatur pada Pasal 300. Pengadilan Niaga merupakan 
lembaga peradilan yang berada di bawah lingkungan Peradilan Umum yang 
mempunyai tugas sebagai berikut (Rahayu Hartini, 2008 : 258 ) :
1) Memeriksa dan memutusakan permohonan pernyataan pailit;
2) Memeriksa dan memutus permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
3) Memeriksa perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya 
ditetapkan dengan undang-undang, misalnya sengketa di bidang HaKI.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 juga mengatur tentang kewenangan 
Pengadilan Niaga dalam hubungannya dengan perjanjian yang mengadung 
klausula arbitrase. Dalam Pasal 303 ditentukan bahwa Pengadilan tetap 
berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari 
pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang 
utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi 
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tentang 
syarat-syarat kepailitan. Ketentuan pasal tersebut dimaksudkan untuk 
memberi penegasan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan 
menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun 
perjanjian utang piutang yang mereka buat memuat klausula arbitrase.
b. Kompetensi Pengadilan Niaga
1) Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif merupakan kewenangan atau kekuasaan mengadili antar 
Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga sampai saat ini baru ada lima. 
Pengadilan Niaga tersebut berkedudukan sama di Pengadilan Negeri. 
Pengadilan Niaga hanya berwenang memeriksa dan memutus perkara pada 
daerah hukumnya masing-masing. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
 menyatakan bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit diputus oleh
 Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan 
hukum Debitor, apabila debitor telah meninggalkan wilayah Negara 
Republik Indonesia, maka Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan 
atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukumnya
 meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor. Dalam hal debitor 
adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi 
tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan. 
Debitur yang tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia 
tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik 
Indonesia, Pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan yang daerah 
hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan
 profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia. Dalam hal 
Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah 
sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya. (Rudy A Lontoh & et. 
al, 2001 : 159)
2) Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut merupakan kewenangan memeriksa dan mengadili antar 
badan peradilan. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang 
Kekuasaan Kehakiman mengatur tentang badan peradilan beserta kewenangan 
yang dimiliki. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada 
di bawah Pengadilan umum yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan 
memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran 
Utang. Selain itu, menurut Pasal 300 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 
Tahun 2004, Pengadilan Niaga juga berwenang pula memeriksa dan memutus 
perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan 
undang-undang. Perkara lain di bidang perniagaan ini misalnya, tentang 
gugatan pembatalan paten dan gugatan penghapusan pendaftaran merek. 
Kedua hal tersebut masuk ke dalam bidang perniagaan dan diatur pula 
dalam undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang 
Paten dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dengan 
kompetensi absolut ini maka hanya Pengadilan Niaga sebagai satu-satunya 
badan peradilan yang berhak memeriksa dan memutus perkara-perkara 
tersebut. (Martiman Prodjohamidjojo.1999 : 17)
c. Hukum Acara di Pengadilan Niaga
Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa “kecuali 
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku 
adalah Hukum Acara Perdata (HIR/RBg).” Hukum acara yang dipakai 
Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan pada dasarnya tetap berpedoman
 pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 .. 
Hukum acara di Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan mempunyai 
ciri yang berbeda, antara lain (Martiman Prodjohamidjojo, 1999 : 11-13) :
1) Acara dengan surat
Acara perdata di muka Pengadilan Niaga berlaku dengan tulisan atau surat
 (schiftelijke procedure). Acara dengan surat berarti bahwa pemeriksaan 
perkara pada pokoknya berjalan dengan tulisan. Akan tetapi, kedua belah 
pihak mendapat kesempatan juga untuk menerangkan kedudukannya dengan 
lisan.
2) Kewajiban dengan Bantuan Ahli
Pasal 7 ayat (1)Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mewajibkan bantuan 
seorang ahli hukum. Adapun dasar yang menjadi pertimbangan ketentuan 
tersebut adalah bahwa di dalam suatu proses kepailitan dimana memerlukan
 pengetahuan tentang hukum dan kecakapan teknis, perlu kedua pihak yang 
bersengketa dibantu oleh seorang atau beberapa ahli yang memiliki 
kemampuan teknis, agar segala sesuatunya berjalan dengan layak dan 
wajar.
3) Model Liberal-Individualistis
Hukum acara dalam proses kepailitan berpangkal pada pendirian bahwa 
hakim pada intinya pasif. Hakim hanya mengawasi supaya 
peraturan-peraturan acara yang ditetapkan dengan undang-undang 
dijalankan oleh kedua belah pihak. Acara demikian adalah model 
liberal-individualistis.
4) Pembuktian Sederhana
Pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga berlangsung lebih 
cepat, hal ini dikarenakan Undang-Undang Kepailitan memberikan batasan 
waktu proses kepailitan. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan 
perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem 
pembuktian yang dianut, yaitu bersifat sederhana atau pembuktian secara 
sumir, ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang 
Kepailitan. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila 
terdapat fakta yang terbukti secara sederhana bahwa pernyataan untuk 
dinyatakan pailit telah terpenuhi. Pembuktian hanya meliputi syarat 
untuk dapat dipailitkan yaitu, adanya utang yang telah jatuh tempo dan 
dapat ditagih, adanya kreditor yang lebih dari satu serta adanya fakta 
bahwa debitor atau termohon pailit telah tidak membayar utangnya. Sifat 
pembuktian yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alasan 
untuk menolak permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat 
menyatakan bahwa perkara yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa.
 Jika suatu perkara dikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang 
pembuktiannya berbelit-belit, maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus 
itu bukan kewenangan Pengadilan Niaga.
5) Waktu pemeriksaan yang terbatas
Pembaharuan yang tak kalah penting dari Undang-Undang Kepailitan ialah 
tentang pemeriksaan yang dibatasi waktunya. Undang-Undang Kepailitan 
menentukan batas waktu pemeriksaan serta tenggang waktu yang pasti 
tentang hari putusan pailit harus diucapkan. Pasal 8 ayat (5) 
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa Putusan Pengadilan 
atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam
 puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
6) Putusan bersifat serta merta (UVB)
Menurut Pasal 8 ayat (7) Undang-Undang Kepailitan, putusan atas 
permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dapat dilaksanakan 
lebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut masih diajukan upaya 
hukum. Undang-Undang Kepailitan mewajibkan kurator untuk melaksanakan 
segala tugas dan kewenangannya untuk mengurus dan atau membereskan harta
 pailit terhitung sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan. Meskipun 
putusan pailit tersebut di kemudian hari dibatalkan oleh suatu putusan 
yang secara hierarkhi lebih tinggi. Semua kegiatan pengurusan dan 
pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan terhitung sejak putusan 
kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan, tetap 
dinyatakan sah oleh undang-undang.
7) Klausula Arbitrase
Eksistensi Pengadilan Niaga, sebagai Pengadilan yang dibentuk 
berdasarkan Pasal 280 ayat (1) Perpu No. 1 tahun 1998 memiliki 
kewenangan khusus berupa yurisdiksi substansif eksklusif terhadap 
penyelesaian perkara kepailitan. Yurisdiksi substansif eksklusif 
tersebut mengesampingkan kewenangan absolut dari Arbitrase sebagai 
pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda yang digariskan dalam Pasal 1338
 KUH Perdata yang telah memberikan pengakuan extra judicial atas 
klausula Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para pihak sebagaimana 
telah diperjanjikan. Jadi, walaupun dalam perjanjian telah disepakati 
cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase, di sini Pengadilan Niaga 
tetap memiliki kewenangan memeriksa dan memutus. Ketentuan tersebut 
terdapat dalam Pasal 300 Undang-Undang Kepailitan.
8) Tidak tersedia Upaya Banding
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 dengan tegas 
menyatakan bahwa Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas 
permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Jadi, 
terhadap putusan pada Pengadilan Niaga tingkat pertama tidak dapat 
diajukan upaya hukum banding. 
d. Hakim Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan memutus perkara Kepailitan atau 
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada tingkat pertama dilakukan oleh
 Majelis Hakim. Dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan, 
Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada 
tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal, ketentuan ini 
terdapat dalam Pasal 301 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004.
Hakim Pengadilan Niaga diangkat melalui Keputusan Ketua Mahkamah 
Agung. Syarat Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Niaga harus memenuhi 
ketentuan dalam Pasal 302, antara lain :
1) telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum;
2) mempunyai dedikasi dan mengusai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
3) berwibawa, jujur, adil, dan berkelakukan tidak tercela; dan
4) telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan.
Ketentuan-ketentuan di atas hanyalah dapat dipenuhi oleh hakim karier
 saja, namun Undang-Undang Kepailitan juga memberikan peluang adanya 
hakim Ad Hoc dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1) mempunyai keahlian;
2) mempunyai dedikasi dan mengusai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
3) berwibawa, jujur, adil,dan berkelakukan tidak tercela; dan
4) telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan.
Berbeda dengan hakim karier, pengangkatan hakim ad hoc tersebut 
berdasarkan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung baik pada 
tingkat pertama, kasasi maupun peninjauan kembali. Dalam menjalankan 
tugasnya, hakim pengadilan niaga dibantu oleh seorang panitera atau 
panitera pengganti dan juru sita.(Jono, 2008 : 86)
2) Hukum Acara dalam Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga 
Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa Kecuali
 ditentukan lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku 
adalah Hukum Acara Perdata (HIR/RBg). Pengaturan tentang kekhususan 
hukum acara Pengadilan Niaga sampai saat ini belum dilakukan secara 
tegas dan khusus. Hukum acara Pengadilan Niaga yang ada saat ini 
terpisah-pisah sesuai dengan obyek sengketa yang diajukan. Sampai saat 
ini, ada dua masalah dan dua UU yang mengatur tentang penunjukan 
Pengadilan Niaga sebagai lembaga penyelesaian sengketa, yaitu UU tentang
 Kepailitan dan UU tentang HaKI. Hukum acara yang dipakai Pengadilan 
Niaga dalam perkara kepailitan pada dasarnya tetap berpedoman pada 
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan 
Kewajiban Pembayaran Utang. Hukum acara di Pengadilan Niaga dalam 
perkara kepailitan mempunyai sifat-sifat khusus yaitu :
a) Acara dengan surat
Acara perdata di muka Pengadilan Niaga berlaku dengan tulisan atau 
surat (schiftelijke procedure), berlainan dengan acara yang berlaku di 
Pengadilan Negeri yang memungkinkan acara lisan (modelinge procedure). 
Acara lisan berarti bahwa pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan 
dengan tanya jawab dengan lisan di muka Hakim. Salah satu atau kedua 
belah pihak diperbolehkan juga mengajukan surat, bahkan dalam Pasal 121 
ayat (2) HIR memberikan kesempatan kepada tergugat untuk menjawab dengan
 tulisan. Acara dengan surat berarti bahwa pemeriksaan perkara pada 
pokoknya berjalan dengan tulisan. Akan tetapi, kedua belah pihak 
mendapat kesempatan juga untuk menerangkan kedudukannya dengan lisan. 
(Martiman Prodjohamidjojo, 1999 : 11)
b) Kewajiban dengan Bantuan Ahli
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mewajibkan bantuan seorang ahli 
hukum. Adapun dasar yang menjadi pertimbangan ketentuan tersebut adalah 
bahwa di dalam suatu proses kepailitan dimana memerlukan pengetahuan 
tentang hukum dan kecakapan teknis, perlu kedua pihak yang bersengketa 
dibantu oleh seorang atau beberapa ahli yang memiliki kemampuan teknis, 
agar segala sesuatunya berjalan dengan layak dan wajar.
c) Model Liberal-Individualistis
Hukum acara dalam proses kepailitan berpangkal pada pendirian bahwa 
hakim pada intinya pasif. Hakim hanya mengawasi supaya 
peraturan-peraturan acara yang ditetapkan dengan undang-undang 
dijalankan oleh kedua belah pihak. Acara demikian adalah model 
liberal-individualistis. (Martiman Prodjohamidjojo, 1999 : 13)
d) Pembuktian Sederhana
Pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga berlangsung lebih 
cepat, hal ini dikarenakan Undang-Undang Kepailitan memberikan batasan 
waktu proses kepailitan. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan 
perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem 
pembuktian yang dianut, yaitu bersifat sederhan atau pembuktian secara 
sumir. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat 
fakta yang terbukti secara sederhana bahwa pernyataan untuk dinyatakan 
pailit telah terpenuhi. Pembuktian hanya meliputi syarat untuk dapat 
dipailitkan yaitu, adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat 
ditagih, adanya kreditor yang lebih dari satu serta adanya fakta bahwa 
debitor atau termohon pailit telah tidak membayar utangnya. Sifat 
pembuktian yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alasan 
untuk menolak permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat 
menyatakan bahwa perkara yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa.
 Jika suatu perkara dikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang 
pembuktiannya berbelit-belit, maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus 
itu bukan kewenangan Pengadilan Niaga,melainkan Pengadilan Perdata. 
e) Waktu pemeriksaan yang terbatas
Pembaharuan yang tak kalah penting dari Undang-Undang Kepailitan 
ialah tentang pemeriksaan yang dibatasi waktunya. Undang-Undang 
Kepailitan menentukan batas waktu pemeriksaan serta tenggang waktu yang 
pasti tentang hari putusan pailit harus diucapkan. Pasal 8 ayat (5) 
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa Putusan Pengadilan 
atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam
 puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
f) Putusan bersifat serta merta (UVB)
Putusan atas permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dapat 
dilaksanakan lebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut masih 
diajukan upaya hukum. Undang-Undang Kepailitan mewajibkan kurator untuk 
melaksanakan segala tugas dan kewenangannnya untuk mengurus dan atau 
membereskan harta pailit terhitung sejak putusan pernyataan pailit 
ditetapkan. Meskipun putusan pailit tersebut di kemudian hari dibatalkan
 oleh suatu putusan yang secara hierarkhi lebih tinggi, semua kegiatan 
pengrurusan dan pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan terhitung 
sejak putusan kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan, 
tetap dinyatakan sah oleh undang-undang. (Ahmad Yani&Gunawan 
Widjaja, 2004 : 23-24)
g) Klausula Arbitrase
Eksistensi Pengadilan Niaga, sebagai Pengadilan yang dibentuk 
berdasarkan Pasal 280 ayat (1) Perpu No. 1 tahun 1998 memiliki 
kewenangan khusus berupa yurisdiksi substansif eksklusif terhadap 
penyelesaian perkara kepailitan. Dengan status hukum dan kewenangan 
(legal status and power), Pengadilan Niaga memiliki kapasitas hukum 
(legal capacity) untuk menyelesaikan permohonan pailit. Yurisdiksi 
substansif eksklusif tersebut mengesampingkan kewenangan absolut dari 
Arbitrase sebagai pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda yang 
digariskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang telah memberikan pengakuan 
extra judicial atas klausula Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para
 pihak sebagaimana telah diperjanjikan. Jadi, walaupun dalam perjanjian 
telah disepakati cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase, di sini 
Pengadilan Niaga tetap memiliki kewenangan memeriksa dan memutus.
h) Tidak tersedia Upaya Banding
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 dengan tegas 
menyatakan bahwa Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas 
permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Jadi, 
terhadap putusan pada Pengadilan Niaga tingkat pertama tidak dapat 
diajukan upaya hukum banding. Sepanjang menyangkut kreditor, yang dapat 
mengajukan kasasi bukan saja kreditor yang merupakan pihak pada 
persidangan tingkat pertama, akan tetapi kasasi dapat diajukan pihak 
lain yang tidak berperkara, termasuk pula kreditor lain yang bukan pihak
 pada tingkat pertama, namun tidak puas terhadap putusan permohonan 
pailit yang diputuskan.
daftar pustaka
 https://viedkamedia.wordpress.com/peradilan-niaga/
  
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar